Minggu, 20 Februari 2011

Masalah Gizi di Indonesia yang Memprihatinkan

Sekitar 37,3 juta penduduk hidup di bawah garis kemiskinan, separuh dari total rumah tangga mengonsumsi makanan kurang dari kebutuhan sehari-hari, lima juta balita berstatus gizi kurang, dan lebih dari 100 juta penduduk berisiko terhadap berbagai masalah kurang gizi.

Itulah sebagian gambaran tingkat kesejahteraan rakyat Indonesia yang perlu mendapat perhatian sungguh-sungguh untuk diatasi. Apalagi Indonesia sudah terikat dengan kesepakatan global untuk mencapai Millennium Development Goals (MDG's) dengan mengurangi jumlah penduduk yang miskin dan kelaparan serta menurunkan angka kematian balita menjadi tinggal separuh dari keadaan pada tahun 2000.
Perjalanan sejarah bangsa-bangsa di dunia menunjukkan bahwa kualitas sumber daya manusia terbukti sangat menentukan kemajuan dan keberhasilan pembangunan suatu negara-bangsa. Terbentuknya sumber daya manusia yang berkualitas, yaitu sumber daya manusia yang sehat, cerdas, dan produktif ditentukan oleh berbagai faktor. Salah satu faktor yang sangat esensial adalah terpenuhinya kebutuhan pangan yang bergizi.

Permintaan pangan yang tumbuh lebih cepat dari produksinya akan terus berlanjut. Akibatnya, akan terjadi kesenjangan antara kebutuhan dan produksi pangan domestik yang makin lebar. Penyebab utama kesenjangan itu adalah adanya pertumbuhan penduduk yang masih relatif tinggi, yaitu 1,49 persen per tahun, dengan jumlah besar dan penyebaran yang tidak merata.

Dampak lain dari masalah kependudukan ini adalah meningkatnya kompetisi pemanfaatan sumber daya lahan dan air disertai dengan penurunan kualitas sumber daya tersebut. Hal ini dapat menyebabkan kapasitas produksi pangan nasional dapat terhambat pertumbuhannya.

Rendahnya konsumsi pangan atau tidak seimbangnya gizi makanan yang dikonsumsi mengakibatkan terganggunya pertumbuhan organ dan jaringan tubuh, lemahnya daya tahan tubuh terhadap serangan penyakit, serta menurunnya aktivitas dan produktivitas kerja.

Pada bayi dan anak balita, kekurangan gizi dapat mengakibatkan terganggunya pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan spiritual. Bahkan pada bayi, gangguan tersebut dapat bersifat permanen dan sangat sulit untuk diperbaiki. Kekurangan gizi pada bayi dan balita, dengan demikian, akan mengakibatkan rendahnya kualitas sumber daya manusia.

Oleh karena itu pangan dengan jumlah dan mutu yang memadai harus selalu tersedia dan dapat diakses oleh semua orang pada setiap saat. Bahasan tersebut menggambarkan betapa eratnya kaitan antara gizi masyarakat dan pembangunan pertanian. Keterkaitan tersebut secara lebih jelas dirumuskan dalam pengertian ketahanan pangan (food security) yaitu tersedianya pangan dalam jumlah dan mutu yang memadai dan dapat dijangkau oleh semua orang untuk hidup sehat, aktif, dan produktif.

Masalah gizi adalah gangguan kesehatan seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh tidak seimbangnya pemenuhan kebutuhannya akan zat gizi yang diperoleh dari makanan. Masalah gizi yang dalam bahasa Inggris disebut malnutrition, dibagi dalam dua kelompok yaitu masalah gizi-kurang (under nutrition) dan masalah gizi-lebih (over nutrition), baik berupa masalah gizi-makro ataupun gizi-mikro.

Gangguan kesehatan akibat masalah gizi-makro dapat berbentuk status gizi buruk, gizi kurang, atau gizi lebih. Sedang gangguan kesehatan akibat masalah gizi mikro hanya dikenal sebutan dalam bentuk gizi kurang zat gizi mikro tertentu, seperti kurang zat besi, kurang zat yodium, dan kurang vitamin A.

Masalah gizi makro, terutama masalah kurang energi dan protein (KEP), telah mendominasi perhatian para pakar gizi selama puluhan tahun. Pada tahun 1980-an data dari lapangan di banyak negara menunjukkan bahwa masalah gizi utama bukan kurang protein, tetapi lebih banyak karena kurang energi atau kombinasi kurang energi dan protein. Bayi sampai anak berusia lima tahun, yang lazim disebut balita, dalam ilmu gizi dikelompokkan sebagai golongan penduduk yang rawan terhadap kekurangan gizi termasuk KEP.

Berdasarkan data Susenas, prevalensi gizi buruk dan kurang pada balita telah berhasil diturunkan dari 35,57 persen tahun 1992 menjadi 24,66 persen pada tahun 2000.

Namun, terdapat kecenderung peningkatan kembali prevalensi pada tahun-tahun berikutnya. Selain itu, jika melihat pertumbuhan jumlah penduduk dan proporsi balita pada dari tahun ke tahun, sebenarnya jumiah balita penderita gizi buruk dan kurang cenderung meningkat.

Kronisnya masalah gizi buruk dan kurang pada balita di Indonesia ditunjukkan pula dengan tingginya prevalensi anak balita yang pendek (stunting <-2 SD). Masih sekitar 30-40 persen anak balita di Indonesia diklasifikasikan pendek. Tingginya prevalensi gizi buruk dan kurang pada balita, berdampak juga pada gangguan pertumbuhan pada anak usia baru masuk sekolah. Pada tahun 1994 prevalensi gizi kurang menurut tinggi badan anak usia 6-9 tahun adalah 39,8 persen dan hanya berkurang sebanyak 3,7 persen, yaitu menjadi 36,1 persen pada tahun 1999.

Masalah gizi lainnya yang cukup penting adalah masalah gizi mikro, terutama untuk kurang vitamin A, kurang yodium, dan kurang zat besi. Meskipun berdasarkan hasil survei nasional tahun 1992 Indonesia dinyatakan telah bebas dari xerophthalmia, masih 50 persen dari balita mempunyai serum retinol <20 mcg/100 ml, yang berarti memiliki risiko tinggi untuk munculnya kembali kasus xeropthalmia. Sementara prevalensi gangguan akibat kurang yodium (GAKY) pada anak usia sekolah di Indonesia adalah 30 persen pada tahun 1980 dan menurun menjadi 9,8 persen pada tahun 1998.

Walaupun terjadi penurunan yang cukup berarti, GAKY masih dianggap masalah kesehatan masyarakat, karena secara umum prevalensi masih di atas 5 persen dan bervariasi antar wilayah, dimana masih dijumpai kecamatan dengan prevalensi GAKY di atas 30 persen.

Diperkirakan sekitar 18,16 juta penduduk hidup di wilayah endemik sedang dan berat; dan 39,24 juta penduduk hidup di wilayah endemis ringan. Masalah berikutnya adalah anemia gizi akibat kurang zat besi. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) menunjukkan bahwa prevalensi anemia pada ibu hamil adalah 50,9 persen pada tahun 1995 dan turun menjadi 40 persen pada tahun 2001, sedangkan pada wanita usia subur 15-44 tahun masing-masing sebesar 39,5 persen pada tahun 1995 dan 27,9 persen pada 2001. Prevalensi anemia gizi berdasarkan SKRT 2001 menunjukkan bahwa 61,3 persen bayi < 6 bulan, 64,8 persen bayi 6-11 bulan, dan 58 persen anak 12-23 bulan menderita anemia gizi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar